Aji Mumpung

>> 25 April 2010

Setelah baca buku “Eat, Pray, Love” karya Elizabeth Gilbert, ada sesuatu yang menggelitik otakku buat mikir tentang karakter manusia. Uda lama siy aku ngeliat di acara Oprah yang ngupas tuntas buku ini cuma baru sekarang beli bukunya. “Eat, Pray, Love” laku keras sampe ada produser melirik kisahnya untuk dijadikan film layar lebar yang berjudul sama. Pemeran utamanya Julia Roberts, bahkan salah satu tempat syutingnya berlokasi di Bali. Wah.. penasaran nii..

Sekilas resensinya begini.. Elizabeth si pengarang alias Liz yang notabene wanita kebangsaan Amerika, memutuskan untuk menempuh perjalanan selama satu tahun ke tiga negara (yang semuanya kebetulan berawalan dengan huruf I), dengan harapan memperbaiki kualitas hidupnya dari segi fisik dan mental, yang sebelumnya hancur karena perceraian. Yaitu ke negara Italia, India, Indonesia.

Di Italia, dia mencoba berbagai wisata kuliner sampai bobotnya naik gila2an dan mempelajari bahasa Italia yang menurut Liz adalah bahasa terindah di dunia. Sementara di India, dia mencoba memperdalam sisi spiritual dengan mengikuti berbagai meditasi di sebuah perguruan. Dan akhirnya di Indonesia, dia menemukan tujuan hidupnya tentang bagaimana membangun hidup yang seimbang antara dunia dan akhirat. Bahkan, disini dia menemukan cintanya kembali.

Kisahnya di tiap negara lumayan menarik, bahkan Oprah sangat tertarik dengan pengalaman2 spiritual yang dialami Liz. Kalo ga salah inget Oprah nanya, “Gimana rasanya komunikasi dengan Tuhan? Bagaimana kamu tau kamu ga gila, denger suara2 di kepalamu?”. Maklumlah, banyak juga orang Amrik yang atheis.

Tapi, buat aku justru yang paling menarik perhatianku adalah cerita sewaktu Liz di Indonesia dan tinggal di Bali selama kurang lebih 4 bulan. Disini dia mempelajari tatanan kehidupan bermasyarakat di Bali yang sangat teratur dan terikat dengan adat. Sampe suatu ketika, dia kenalan ma perempuan bernama Wayan Nuriyasih, seorang penyembuh alias ahli pengobatan alternatif secara herbal. Wayan punya anak berusia 8 tahun namanya Tutti. Wayan bercerai dengan suaminya. Fyi, suaminya tukang mabok, hobi berjudi dan suka mukulin Wayan. Untuk mendapatkan Tutti kembali, Wayan harus menyewa seorang pengacara dan harus membayar dengan semua yang dia miliki sehingga Wayan benar2 bangkrut. Wayan, seorang wanita tegar harus bertahan hidup dengan membuka toko kecil yang disebutnya sebagai “Pusat Penyembuhan Tradisional Bali”. Bangunan toko ini ga permanen, setiap kali sewa kontrakannya habis mereka harus berjuang mencari tempat baru lagi. Penderitaan Wayan terus berlanjut karena di Bali yang kekeluargaannya sangat tinggi, sulit untuk menerima wacana tentang “janda”. Mereka kerap dianggap aib keluarga, bahkan sering juga dikeluarkan dari lingkaran keluarga.

Sosok Tutti cerdas dan ramah, sangat mendambakan sebuah rumah tinggal yang permanen, ditambah dengan kisah hidup Wayan yang tragis merupakan ramuan tepat yang bisa menggetarkan hati Liz Gilbert sehingga dia merasa perlu berbuat sesuatu.

Liz mulai menggalang dana melalui internet. Dia menceritakan kisah Wayan dan Tutti ke teman2nya di seluruh dunia via e-mail dan betapa Liz ingin sekali mewujudkan rumah yang nyaman buat mereka berdua. Teman2nya tersentuh dengan cerita ini dan dana pun mulai mengalir. Ga disangka2, e-mail ini terus di-forward sampai ada sekumpulan orang2 yang tidak Liz kenal ikut menyumbang. Terkumpullah uang sebesar $18.000 untuk membeli rumah bagi Wayan Nuriyasih. Taruhlah, kaliin ama 10 ribu rupiah.. sekitar Rp. 180.000.000,-. Weew, jumlah yang ga main2. Buat beli krupuk, dapet segunung tuh…

Lucunya, di buku ini diceritain si Wayan yang kesenengan dapet duit segambreng ga buru2 beli rumah. Dia punya segudang alesan kenapa di Bali ga bisa sembarangan beli rumah. Pertama dia harus nanya ma orang pinter dulu, belum lagi kebanyakan tanah milik orang2 Bali adalah milik keluarga, diwariskan secara turun-temurun jadi mereka sangat sulit menjual ke orang lain. Kalau dijual pun, harganya selangit.

Liz kelimpungan, uda hampir deadline-nya dia harus balik ke Amerika. Dia malu ntar kalo temen2nya nanyain si Wayan uda beli rumah idamannya ato belum? Di Bali, Liz punya pacar namanya Felipe. Felipe ngingetin Liz harus terus mendesak Wayan, bahkan mereka berdua nyariin rumah2 yang dijual untuk referensi tapi Wayan tetep kekeuh dengan sejuta alesan.. Akirnya, Liz ngerasa Wayan nipu dia. Emang bener Wayan butuh rumah, tapi ngeliat duit $18.000 di rekeningnya, yang mungkin ga pernah dia liat sebanyak itu dalam hidupnya, sifat rakusnya keluar. Itu sebabnya, dia nunda2 buat nyari rumah. Mungkin dia pikir, “Ntar kalo Liz uda pulang jauh ke sono, aku bisa ngontrak rumah aja. Sisanya kan lumayan bisa buat beli gincu, bedak, obat anti keriput, dsb.” Hihihi..

Liz jadi sebel ma Wayan, tapi dalam hatinya dia tau Wayan orang baik. Cuma lagi kegoda imannya. Akirnya Liz memutuskan untuk ngeboongin Wayan. Liz bilang kalo sampe dia pulang, Wayan masih belum beli rumah..temen2 Wayan mau narik duit di rekening Wayan lagi. Mereka akan nganggep Wayan ngibul.. “bullsh**”. Denger kata "bull" ini, Wayan tersinggung tapi juga gelagepan karena dia ga mau duitnya diambil lagi. Malemnya, Wayan nelpon ke Liz katanya uda beli rumah, dia dapet wangsit katanya rumah itu bagus dan harga rumahnya juga terjangkau. Aha! Kenapa ga dari kemaren2 yah?

Ini lho sifat manusia, sukanya aji mumpung. Ga semua aji mumpung itu negatif, tapi disini aku ngomongin yang seneng manfaatin situasi demi kepentingan diri sendiri. Buat Wayan mumpung Liz baik, mumpung duit banyak, mumpung.. mumpung..

Entah nyambung, entah gak tapi sehari2 aku juga sering ngeliat praktek aji mumpung ini dimana2. Wakil rakyat minta mobil mewah. Mumpung jadi pejabat, katanya.. Tadinya bintang pilem, tiba2 jadi penyanyi padahal suaranya pas2an. Mumpung laku, katanya.. Temen hobi ngutang ga dibalik2in. Mumpung baek yang minjemin, katanya..

Ga usah jauh2 deh. Tukang bakso aja juga aji mumpung. Ada tuh deket rumah, yang jual bakso enak banget. Baksonya terkenal gede dan daging sapinya kerasa. Ibarat Yoichi, si Anak Cita Rasa.. kalo qt maem tuh bakso, langsung serasa berada di padang rumput merumput bareng sapi2nya. Lebaaay.. Wekekek.. Aku ma suami doyan banget. Tapi, terakir aku kesana aku jadi illfeel karena sekarang bulatan baksonya mengecil setengahnya, rasanya juga uda ga nendang lagi. Kebanyakan tepung.. Mumpung banyak pelanggan, mendingan cari untung sebanyak2nya. Baksonya dikecilin, dagingnya dikurangin. Pelanggan kecewa, huuuu…

Jadi inget dulu nenekku pernah cerita, di Magelang (tempat nenekku tinggal) ada orang Tionghoa yang bikin lapis legit enaaaak buangeth. Terkenal sejak jaman nenekku masih muda. Ampe nenekku usia 80-an pun, keturunan dari si pembuat lapis legit tadi tetep mempertahankan resep leluhurnya. Ga ada satupun bahan yang dikurangi, ga ada metode yang diubah (kecuali mungkin alat2nya lebih modern), Dari yang jaman dulu mungkin satu kotak lapis legit cuma beberapa ratus rupiah seiring dengan perkembangan harga2 sembako, harganya melambung jadi seratus ribu lebih. Tapi enaknya tetep sama persis dengan 60 tahun yang lalu. Sehingga semua pelanggannya tetep setia berpuluh2 tahun. Mungkin itu sebabnya, banyak orang keturunan Tionghoa yang berhasil dalam bisnis. Mungkin juga, buat sebagian dari mereka yang terpenting adalah menjaga kualitas. Karena mereka2 yang berhasil ini tau, berbisnis ato apapun yang dilakukan dengan basis aji mumpung ga bakal bertahan lama.

0 komentar:

Posting Ter-Gress

Komentar Ter-Gress

Kategori

binatang (3) ga penting (15) imajinasi (4) lucu2-an (6) renungan (14) resensi (6) tegang (2) tips (4)

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP